Media Terupdate

Minggu, 29 Mei 2016

JAKARTA DAN AMBIGUITAS OTONOMI DAERAH


Penulis: Subiran Paridamos S.Ip, M.Ik ( Pendiri Lembaga Pers Mahasiswa UMJ dan Pendiri SeKolah Peradaban Jurnalis Indonesia)

Salah satu fakta politik yang paling menarik dalam proses pengkajian Desentralisasi dan Otonomi daerah adalah makna wilayah politik Jakarta yang terkesan ambigu. Disatu sisi Jakarta adalah Ibu kota Negara dan pusat pemerintahan negara, tetapi disisi yang lain, Jakarta juga merupakan daerah otonomi yang terpisah dari Negara.


Artinya, daerah Jakarta selain merupakan suatu daerah khusus dengan peranan sebagai Ibukota Negara dan merupakan pusat segala aspek kehidupan nasional yaitu idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam serta sebagai pusat pemerintah Negara yang meliputi pusat dari badan-badan negara Indonesia, perencanaan, pengarah, pemerintahan negara, serta pengawasannya, juga merupakan daerah otonom yang menyelenggarakan pemerintahan daerah serta pengelolaan sumber daya (SDM dan SDA) daerah secara mandiri dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, daerah Jakarta merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang memegang peranan ganda dalam pelaksanaan proyek reformasi bernama desentralisasi dan otonomi daerah. Fakta menariknya adalah jika desentralisasi dan otonomi daerah bagi daerah-daerah di luar Jakarta merupakan transformasi yang bersifat vertikal, dalam hal ini pelimpahan kewenangan, kedaulatan, dan kemandirian dari Jakarta ke daerah, maka desentralisasi dan otonomi daerah bagi Jakarta adalah bersifat horizontal, dalam hal ini pelimpahan kewenangan, kedaulatan dan kemandirian dari Jakarta sebagai ibu kota Negara dan pusat pemerintahan ke Jakarta sebagai daerah otonom dari Negara atau pusat.

Dengan proses desentralisasi dan otonomi daerah di Jakarta yang bersifat horizontal tersebut, maka potensi terbukanya ruang gerak masyarakat lokal atau masyarakat pribumi Jakarta (Betawi) dalam mengelola daerahnya yang selama ini dikelola oleh orang lain menjadi hal yang sangat diharapkan oleh masyarakat. Hanya saja terkesan ada ketidaksiapan masyarakat pribumi Betawi dalam mengelola daerahnya tersebut.

Hal tersebut selain disebabkan karena mereka kehilangan akses pengelolaan daerah yang direbut oleh pemerintah pusat dimasa lalu, juga karena masyarakat Betawi kurang mampu berkompetisi dengan warga pendatang dalam perebutan sumber daya strategis. Sehingga pada tataran realitasnya, masyarakat Betawi justru tersingkir dari peta pengelolaan daerah tersebut.Akhirnya, mereka hanya menjadi penonton setia dari proses transformasi tersebut. 

Salah satu kekeliruan berpikir dalam proses pemaknaan terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini adalah menganggap bahwa obyek kajian wilayah politik desentralisasi dan otonomi daerah hanya terfokus pada daerah-daerah selain Ibu kota Negara (Jakarta). Ironisnya, pandangan tersebut kebanyakan lahir dari pemikiran para akademisi dan politisi. Mayoritas dari mereka memandang bahwa obyek kajian desentralisasi dan otonomi daerah hanya untuk daerah-daerah diluar ibu kota Jakarta. Sebab, Jakarta merupakan pusat pemerintahan Negara.Sehingga tidak termasuk kategori obyek kajian daerah otonomi.

Pemahaman tersebut sebenarnya lahir jika bukan disebabkan kebuntuan memaknai relasi antara bentuk Negara kesatuan dengan konsep otonomi daerah, maka kemungkinan besar masih membawa pemikiran orde lama dan orde baru mengenai politik sentralisasi.

Padahal jika kita mau konsisten dengan konsep otonomi daerah dalam kontur sistem pemerintahan presidensial dengan tekstur Negara kesatuan, maka seharusnya Jakarta diposisikan seruang dan sebangun dengan daerah-daerah lain di nusantara. Berbeda halnya ketika tekstur dan kontur Negara Indonesia adalah federal atau serikat, maka praktis Jakarta hanya merupakan wilayah politik pusat yang terbedakan secara nyata dengan wilayah-wilayah lain yang merupakan Negara bagian yang otonom. Dengan demikian, karena Indonesia bukan merupakan Negara federal melainkan Negara kesatuan, maka semua daerah di nusantara dalam konsep desentralisasi dan otonomi daerah merupakan daerah otonom, termasuk Jakarta.

Berkaitan dengan kedudukan Jakarta sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, telah disetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta sebagai revisi UU No. 34 Tahun 1999 dalam Rapat Pembicaraan Tingkat II DPR RI, berdasarkan catatan rapat Paripurna pengesahan RUU Revisi UU No. 31 Tahun 1999 yang dilaksanakan pada minggu ketiga bulan Juli 2007, dengan disahkannya UU no.29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI.

Dua peranan strategis diataslah yang menjadikan segala aspek kehidupan masyarakat Jakarta merupakan cermin bagi segala aspek kehidupan nasional. Sehingga mau tidak mau atau suka tidak suka, potret desentralisasi dan otonomi daerah di Jakarta merupakan gambaran umum pelaksanaan proyek reformasi bernama “desentralisasi dan otonomi daerah” secara Nasional pula. 

Artinya jika Jakarta berhasil dalam pelaksanaan proyek tersebut, maka kemungkinan besar daerah lainpun menuai hasil yang serupa, tetapi jika sebaliknya menemui kebuntuan yang parah, maka daerah-daerah lainpun akan mengalami nasib yang sama. Dengan demikian, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Jakarta harus terhindar dan terjamin dari segala bentuk masalah kedaerahan dan kenegaraan, sebab dampaknya bukan hanya menimpa daerah Jakarta tetapi seluruh daerah di nusantara.

Histori Desentralisasi di Indonesia

Indonesia dalam kurun sejarahnya telah lama mengalami politik yang tersentralisasi. Sejarah perpolitikan Indonesia membuktikan bahwa desentralisasi pemerintahan di Indonesia sudah dimulai sejak masa colonial belanda hingga orde baru, meski secara legal formal terkesan telah menerapkan politik pemerintahan yang terdesentralisasi, seperti dibuktikan dengan adanya Undang-Undang desentralisasi seperti melalui undang-undang densentralisasi (desentralisatie wet) tahun 1903 dijaman colonial, UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, dan UU No. 18 Tahun 1965 dijaman orde lama, serta UU No. 5 Tahun 1974 dijaman orde baru. 

Hanya saja konsep legal formal tersebut tidak berbannding lurus dengan pelaksanaan substansial desentralisasi dilapangan. Sehingga yang lahir kemudian hanyalah politik sentralisasi yang berjubah desentralisasi. Artinya, konsep sentralisasi dan desentralisasi sebenarnya merupakan warisan dari struktur politik pemerintah dari zaman penjajahan Belanda yang kemudian diadopsi oleh rezim orde lama dan orde baru.

Pasca tumbangnya rezim orde baru, maka berbagai kalangan khususnya akademisi dan politisi berupaya untuk mendesentralisasi struktur pemerintahan. Dimulai 1 Januari 2001, era otonomi daerah mulai diberlakukan secara serentak oleh pemerintah setelah sebelumnya mensahkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.  

Keduanya merupakan paket perundangan yang mengatur tentang desentralisasi struktur pemerintahan di Republik Indonesia menyusul era reformasi yang dipelopori mahasiswa sejak tahun 1998. Pertanyaan yang kemudian lahir adalah, apakah ketika secara konstitusi Negara kita telah mengadopsi politik pemerintahan yang bersifat desentralisasi secara otomatis akan menjadikan Negara kita terdesentralisasi secara konsekuen?

Potret Jakarta sebagai Ibu kota Negara

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat (sentralistik) serta menggunakan pendekatan keamanan merupakan salah satu pemicu munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan hal tersebut tentu sangat menguntungkan daerah Jakarta. Jakarta seolah menjadi anak emas dari dari orang tua yang bernama Indonesia. Hanya saja keuntungan tersebut harus menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan yang luar biasa antara Jakarta dan daerah lain di Luar Jakarta. Dan salah satu bentuk ketidakadilan adalah pembangunan.

Ketimpangan pembangunan antara Jakarta dan luar jakarta merupakan faktor determinan yang mempengaruhi terlegitimasinya arus urbanisasi yang masif. Disatu sisi dengan penitikberatan pembangunan entah dalam domain infrasruktur maupun superstruktur di Jakarta menjadi penanda bahwa politik pembangunan yang diterapkan sangatlah sentralistik, primordial dan partial. Sebagai ibu kota Negara, hampir segala aktivitas hidup dan kehidupan yang menjamin kemapanan niscaya diorientasikan pada Jakarta.

 Jakarta seolah menjadi suaka satu-satunya untuk mewujudkan harapan hidup makmur dan sejahtera. Sementara disisi yang lain, wilayah lain dinusantara dalam hal ini skop luar Jakarta atau luar Jawa khususnya kawasan timur Indonesia hanya dijadikan koloni dalam mengeruk sumber daya alam yang nantinya memberikan sumbangsih APBN yang hampir sebagian besar dialokasikan kepada pembangunan Jakarta dan sekitarnya. 

Selain itu formulasi pemberitaan media massa khususnya media eletronik dalam menyuguhkan oase kesejahteraan, keglamouran, kemewahan dan keindahan kota Jakarta, semakin melegitimasi terjadinya arus urbanisasi yang masif. Akibatnya Jakarta kemudian disesaki oleh tamu urban dari berbagai daerah dinusantara dengan tingkat heterogenitas identitas ekosopobud (ekonomi, social, politik dan budaya) yang sangat tinggi dan kompleks. 

Berdasarkan data empiris dilapangan, hampir semua atau sebagian besar suku bangsa yang ada dinusantara ada (hidup dan mencari nafkah) di Jakarta. Dengan demikian Jakarta akhirnya dihuni dan dipenuhi oleh manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter, agama, budaya, pendidikan, dan lain-lain yang sangat majemuk.

Dengan tingkat kemajemukan masyarakat yang tinggi di ataslah yang kemudian menegaskan pahaman masyarakat seantero republik bahwa Jakarta merupakan representasi atau gambaran umum situasi dan kondisi negara Indonesia secara universal dan komprehensip.Yang tentunya sangat sarat dengan sorotan publik baik domestik maupun internasional. 

Sehingga tidak salah jika kemudian Jakarta sangat rawan dengan problema kemasyarakatan, kedaerahan dan kenegaraan yang lebih kompleks ketimbang daerah lain di nusantara. Akhirnya, hampir sebagian besar garis kemiskinan oleh kerusakan dan krisis multidimensional yang meliputi sendi-sendi dasar kehidupan dan interaksi sosial, dalam hal ini krisis kepercayaan, krisis moneter, dan seterusnya, terjadi didaerah Jakarta. 

Sebab, perbedaan sosial secara ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya sangat besar, dan ini rentan dengan konflik-konflik horizontal yang memang jadi pemandangan lain dari kawasan ini. Konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) serta konflik structural seperti tawuran antara ormas terjadi hampir di semua tempat kalaupun tak terjadi potensi konfliknya sangat besar.

Jika kemudian kausa prima (sebab utama) dari arus urbanisasi yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya adalah masalah ketimpangan pembangunan antara Jakarta dan daerah di luar Jakarta, maka satu-satunya solusi yang cukup bijak dalam menangani masalah tersebut adalah political will dari para penentu kebijakan negeri ini untuk menjadikan daerah-daerah lain layaknya seperti Jakarta.

Dirikanlah kota sejenis Jakarta di daerah-daerah lain agar penduduk didaerah-daerah tersebut tidak lagi punya hasrat untuk menggantungkan hidup damai, sejahtera dan sukses jika dan hanya jika ke Jakarta. Artinya pemerataan pembangunan disegala lini layak diterjemahkan dan diartikulasikan dengan paradigma berpikir yang proporsional dari penentu kebijakan tertinggi dinegeri ini.

Hanya saja, sejak Jakarta menjadi Ibu kota negara, para elite di Jakarta sering merasa takut untuk memberikan kontrol lebih besar kepada daerah untuk mengatur urusannya sendiri karena nantinya akan jatuh ke tangan kekuatan yang merusak dan bersifat memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia. Satu penjelasan penting dari kegagalan upaya desentralisasi di masa lalu adalah kurangnya komitmen pusat terhadap upaya desentralisasi.

Berakhirnya Orde Baru meningkatkan tuntutan yang luas atas demokrasi dan pemberdayaan, di antaranya tuntutan dari daerah-daerah di luar Jawa untuk memperoleh kontrol lebih banyak atas urusan-urusannya sendiri. Permintaan ini terdengar sangat mendesak dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan Riau, dan mereka mengancam apabila daerah-daerah ini tidak diberi otonomi yang lebih, Indonesia akan menghadapi disintegrasi atas tekanan dari gerakan separatis. 

Dan akhirnya pemerintah pusat kemudian merealisasikan konsep desentralisasi dan otonomi daerah melalui dua undang-undang yaitu dua Undang-undang tentang desentralisasi yaitu UU No. 32 tahun 2004 (perubahan atas UU No 22 tahun 1999)  yang menyangkut desentralisasi administrasi, sementara UU No. 33 tahun 2004 (perubahan atas UU No 25 tahun 1999) yang menyangkut administrasi keuangan.

Dua undang-undang ini menandakan keseriusan baru atas upaya menjabarkan desentralisasi demokratis oleh pemerintahan pusat. Namun, masih belum jelas tentang cakupan dan implikasi dari penerapannya. Rekomendasi yang diajukan dalam laporan ini bertujuan untuk menekankan pentingnya menjalankan proses desentralisasi lewat cara-cara yang demokratis dan adil.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa proses tranformasi pemerintahan dan politik pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi membuat daerah-daerah lain diluar Jakarta menjadi berirama dan dinamis. Implikasi positif khususnya berkaitan dengan pembangunan adalah lahirnya kota-kota baru diluar Jakarta yang memiliki sarana dan prasarana social yang hampir mendekati Jakarta. Sementara dari sisi pemerintahan, daerah telah banyak menyumbang ide dan gagasan sendiri bagaimana mengelola pemerintahan daerahnya agar mampu mensejahterakan rakyatnya.


Berbeda dengan daerah-daerah lain, transformasi dari sentralisasi ke desentralisasi, praktis tidak membuat Jakarta mengalami perubahan signifikan, kecuali bertambahnya Mol-Mol di Ibu kota dan meningkatnya masyarakat yang hidup dikolong jembatan. Dilain pihak tingkat gap sosial masyarakat di Jakarta juga sangat tinggi. Pusat-pusat ekonomi, pendidikan, dan politik hampir didomonasi oleh para pemilik capital yang biasanya dari golongan masyarakat profesi mapan seperti pengusaha, pejabat publik dan artis. Sementara masyarakat ekonomi lemah memenuhi pinggiran ibu kota, bahkan menghiasi kolong jembatan dan jalanan ibu kota.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html