Penulis: Subiran Paridamos S.Ip, M.Ik ( Pendiri Lembaga
Pers Mahasiswa UMJ dan Pendiri SeKolah Peradaban Jurnalis Indonesia)
Salah satu fakta
politik yang paling menarik dalam proses pengkajian Desentralisasi dan Otonomi
daerah adalah makna wilayah politik Jakarta yang terkesan ambigu. Disatu sisi
Jakarta adalah Ibu kota Negara dan pusat pemerintahan negara, tetapi disisi
yang lain, Jakarta juga merupakan daerah otonomi yang terpisah dari Negara.
Artinya, daerah
Jakarta selain merupakan suatu daerah khusus dengan peranan sebagai Ibukota
Negara dan merupakan pusat segala aspek kehidupan nasional yaitu idiologi,
politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam serta sebagai pusat pemerintah
Negara yang meliputi pusat dari badan-badan negara Indonesia, perencanaan,
pengarah, pemerintahan negara, serta pengawasannya, juga merupakan daerah
otonom yang menyelenggarakan pemerintahan daerah serta pengelolaan sumber daya
(SDM dan SDA) daerah secara mandiri dan bertanggung jawab.
Dengan demikian,
daerah Jakarta merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang memegang peranan
ganda dalam pelaksanaan proyek reformasi bernama desentralisasi dan otonomi
daerah. Fakta menariknya adalah jika desentralisasi dan otonomi daerah bagi
daerah-daerah di luar Jakarta merupakan transformasi yang bersifat vertikal,
dalam hal ini pelimpahan kewenangan, kedaulatan, dan kemandirian dari Jakarta
ke daerah, maka desentralisasi dan otonomi daerah bagi Jakarta adalah bersifat
horizontal, dalam hal ini pelimpahan kewenangan, kedaulatan dan kemandirian
dari Jakarta sebagai ibu kota Negara dan pusat pemerintahan ke Jakarta sebagai
daerah otonom dari Negara atau pusat.
Dengan proses
desentralisasi dan otonomi daerah di Jakarta yang bersifat horizontal tersebut,
maka potensi terbukanya ruang gerak masyarakat lokal atau masyarakat pribumi
Jakarta (Betawi) dalam mengelola daerahnya yang selama ini dikelola oleh orang
lain menjadi hal yang sangat diharapkan oleh masyarakat. Hanya saja terkesan
ada ketidaksiapan masyarakat pribumi Betawi dalam mengelola daerahnya tersebut.
Hal tersebut selain disebabkan karena mereka kehilangan akses pengelolaan
daerah yang direbut oleh pemerintah pusat dimasa lalu, juga karena masyarakat
Betawi kurang mampu berkompetisi dengan warga pendatang dalam perebutan sumber
daya strategis. Sehingga pada tataran realitasnya, masyarakat Betawi justru
tersingkir dari peta pengelolaan daerah tersebut.Akhirnya, mereka hanya menjadi
penonton setia dari proses transformasi tersebut.
Salah satu
kekeliruan berpikir dalam proses pemaknaan terhadap konsep desentralisasi dan
otonomi daerah dewasa ini adalah menganggap bahwa obyek kajian wilayah politik
desentralisasi dan otonomi daerah hanya terfokus pada daerah-daerah selain Ibu
kota Negara (Jakarta). Ironisnya, pandangan tersebut kebanyakan lahir dari
pemikiran para akademisi dan politisi. Mayoritas dari mereka memandang bahwa
obyek kajian desentralisasi dan otonomi daerah hanya untuk daerah-daerah diluar
ibu kota Jakarta. Sebab, Jakarta merupakan pusat pemerintahan Negara.Sehingga
tidak termasuk kategori obyek kajian daerah otonomi.
Pemahaman tersebut
sebenarnya lahir jika bukan disebabkan kebuntuan memaknai relasi antara bentuk
Negara kesatuan dengan konsep otonomi daerah, maka kemungkinan besar masih
membawa pemikiran orde lama dan orde baru mengenai politik sentralisasi.
Padahal jika kita mau konsisten dengan konsep otonomi daerah dalam
kontur sistem pemerintahan presidensial dengan tekstur Negara kesatuan, maka
seharusnya Jakarta diposisikan seruang dan sebangun dengan daerah-daerah lain
di nusantara. Berbeda halnya ketika tekstur dan kontur Negara Indonesia adalah
federal atau serikat, maka praktis Jakarta hanya merupakan wilayah politik
pusat yang terbedakan secara nyata dengan wilayah-wilayah lain yang merupakan
Negara bagian yang otonom. Dengan demikian, karena Indonesia bukan merupakan
Negara federal melainkan Negara kesatuan, maka semua daerah di nusantara dalam
konsep desentralisasi dan otonomi daerah merupakan daerah otonom, termasuk
Jakarta.
Berkaitan dengan
kedudukan Jakarta sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai Ibukota Negara
Republik Indonesia, telah disetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta
sebagai revisi UU No. 34 Tahun 1999 dalam Rapat Pembicaraan Tingkat II DPR RI,
berdasarkan catatan rapat Paripurna pengesahan RUU Revisi UU No. 31 Tahun 1999
yang dilaksanakan pada minggu ketiga bulan Juli 2007, dengan disahkannya UU
no.29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI.
Dua peranan
strategis diataslah yang menjadikan segala aspek kehidupan masyarakat Jakarta
merupakan cermin bagi segala aspek kehidupan nasional. Sehingga mau tidak mau
atau suka tidak suka, potret desentralisasi dan otonomi daerah di Jakarta
merupakan gambaran umum pelaksanaan proyek reformasi bernama “desentralisasi
dan otonomi daerah” secara Nasional pula.
Artinya jika Jakarta berhasil dalam
pelaksanaan proyek tersebut, maka kemungkinan besar daerah lainpun menuai hasil
yang serupa, tetapi jika sebaliknya menemui kebuntuan yang parah, maka
daerah-daerah lainpun akan mengalami nasib yang sama. Dengan demikian,
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Jakarta harus terhindar dan
terjamin dari segala bentuk masalah kedaerahan dan kenegaraan, sebab dampaknya
bukan hanya menimpa daerah Jakarta tetapi seluruh daerah di nusantara.
Histori Desentralisasi di Indonesia
Indonesia dalam
kurun sejarahnya telah lama mengalami politik yang tersentralisasi. Sejarah
perpolitikan Indonesia membuktikan bahwa desentralisasi pemerintahan di
Indonesia sudah dimulai sejak masa colonial belanda hingga orde baru, meski
secara legal formal terkesan telah menerapkan politik pemerintahan yang
terdesentralisasi, seperti dibuktikan dengan adanya Undang-Undang
desentralisasi seperti melalui undang-undang densentralisasi (desentralisatie
wet) tahun 1903 dijaman colonial, UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU
No. 1 Tahun 1957, dan UU No. 18 Tahun 1965 dijaman orde lama, serta UU No. 5
Tahun 1974 dijaman orde baru.
Hanya saja konsep legal formal tersebut tidak
berbannding lurus dengan pelaksanaan substansial desentralisasi dilapangan.
Sehingga yang lahir kemudian hanyalah politik sentralisasi yang berjubah
desentralisasi. Artinya, konsep sentralisasi dan desentralisasi sebenarnya
merupakan warisan dari struktur politik pemerintah dari zaman penjajahan
Belanda yang kemudian diadopsi oleh rezim orde lama dan orde baru.
Pasca tumbangnya
rezim orde baru, maka berbagai kalangan khususnya akademisi dan politisi
berupaya untuk mendesentralisasi struktur pemerintahan. Dimulai 1 Januari 2001,
era otonomi daerah mulai diberlakukan secara serentak oleh pemerintah setelah
sebelumnya mensahkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Keduanya
merupakan paket perundangan yang mengatur tentang desentralisasi struktur
pemerintahan di Republik Indonesia menyusul era reformasi yang dipelopori
mahasiswa sejak tahun 1998. Pertanyaan yang
kemudian lahir adalah, apakah ketika secara konstitusi Negara kita telah
mengadopsi politik pemerintahan yang bersifat desentralisasi secara otomatis
akan menjadikan Negara kita terdesentralisasi secara konsekuen?
Potret Jakarta sebagai Ibu kota Negara
Berbagai kebijakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitikberatkan pada
sistem yang terpusat (sentralistik) serta menggunakan pendekatan keamanan
merupakan salah satu pemicu munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dan hal tersebut tentu sangat menguntungkan daerah Jakarta.
Jakarta seolah menjadi anak emas dari dari orang tua yang bernama Indonesia.
Hanya saja keuntungan tersebut harus menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan
yang luar biasa antara Jakarta dan daerah lain di Luar Jakarta. Dan salah satu
bentuk ketidakadilan adalah pembangunan.
Ketimpangan
pembangunan antara Jakarta dan luar jakarta merupakan faktor determinan yang
mempengaruhi terlegitimasinya arus urbanisasi yang masif. Disatu sisi dengan
penitikberatan pembangunan entah dalam domain infrasruktur maupun superstruktur
di Jakarta menjadi penanda bahwa politik pembangunan yang diterapkan sangatlah
sentralistik, primordial dan partial. Sebagai ibu kota Negara, hampir segala
aktivitas hidup dan kehidupan yang menjamin kemapanan niscaya diorientasikan
pada Jakarta.
Jakarta seolah menjadi suaka satu-satunya untuk mewujudkan
harapan hidup makmur dan sejahtera. Sementara disisi yang lain, wilayah lain
dinusantara dalam hal ini skop luar Jakarta atau luar Jawa khususnya kawasan
timur Indonesia hanya dijadikan koloni dalam mengeruk sumber daya alam yang
nantinya memberikan sumbangsih APBN yang hampir sebagian besar dialokasikan
kepada pembangunan Jakarta dan sekitarnya.
Selain itu formulasi pemberitaan
media massa khususnya media eletronik dalam menyuguhkan oase kesejahteraan,
keglamouran, kemewahan dan keindahan kota Jakarta, semakin melegitimasi
terjadinya arus urbanisasi yang masif. Akibatnya Jakarta kemudian disesaki oleh
tamu urban dari berbagai daerah dinusantara dengan tingkat heterogenitas
identitas ekosopobud (ekonomi, social, politik dan budaya) yang sangat tinggi
dan kompleks.
Berdasarkan data empiris dilapangan, hampir semua atau sebagian
besar suku bangsa yang ada dinusantara ada (hidup dan mencari nafkah) di
Jakarta. Dengan demikian Jakarta akhirnya dihuni dan dipenuhi oleh
manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter, agama, budaya, pendidikan,
dan lain-lain yang sangat majemuk.
Dengan tingkat
kemajemukan masyarakat yang tinggi di ataslah yang kemudian menegaskan pahaman
masyarakat seantero republik bahwa Jakarta merupakan representasi atau gambaran
umum situasi dan kondisi negara Indonesia secara universal dan
komprehensip.Yang tentunya sangat sarat dengan sorotan publik baik domestik
maupun internasional.
Sehingga tidak salah jika kemudian Jakarta sangat rawan
dengan problema kemasyarakatan, kedaerahan dan kenegaraan yang lebih kompleks
ketimbang daerah lain di nusantara. Akhirnya, hampir sebagian besar garis
kemiskinan oleh kerusakan dan krisis multidimensional yang meliputi sendi-sendi
dasar kehidupan dan interaksi sosial, dalam hal ini krisis kepercayaan, krisis
moneter, dan seterusnya, terjadi didaerah Jakarta.
Sebab, perbedaan sosial
secara ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya sangat besar, dan ini rentan
dengan konflik-konflik horizontal yang memang jadi pemandangan lain dari
kawasan ini. Konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) serta konflik
structural seperti tawuran antara ormas terjadi hampir di semua tempat kalaupun
tak terjadi potensi konfliknya sangat besar.
Jika kemudian kausa
prima (sebab utama) dari arus urbanisasi yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya adalah masalah ketimpangan pembangunan antara Jakarta dan daerah di
luar Jakarta, maka satu-satunya solusi yang cukup bijak dalam menangani masalah
tersebut adalah political will dari para penentu kebijakan negeri ini untuk
menjadikan daerah-daerah lain layaknya seperti Jakarta.
Dirikanlah kota sejenis
Jakarta di daerah-daerah lain agar penduduk didaerah-daerah tersebut tidak lagi
punya hasrat untuk menggantungkan hidup damai, sejahtera dan sukses jika dan
hanya jika ke Jakarta. Artinya pemerataan pembangunan disegala lini layak
diterjemahkan dan diartikulasikan dengan paradigma berpikir yang proporsional
dari penentu kebijakan tertinggi dinegeri ini.
Hanya saja, sejak
Jakarta menjadi Ibu kota negara, para elite di Jakarta sering merasa takut
untuk memberikan kontrol lebih besar kepada daerah untuk mengatur urusannya
sendiri karena nantinya akan jatuh ke tangan kekuatan yang merusak dan bersifat
memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia. Satu penjelasan penting dari
kegagalan upaya desentralisasi di masa lalu adalah kurangnya komitmen pusat
terhadap upaya desentralisasi.
Berakhirnya Orde
Baru meningkatkan tuntutan yang luas atas demokrasi dan pemberdayaan, di
antaranya tuntutan dari daerah-daerah di luar Jawa untuk memperoleh kontrol
lebih banyak atas urusan-urusannya sendiri. Permintaan ini terdengar sangat
mendesak dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Papua,
Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan Riau, dan mereka mengancam apabila
daerah-daerah ini tidak diberi otonomi yang lebih, Indonesia akan menghadapi
disintegrasi atas tekanan dari gerakan separatis.
Dan akhirnya pemerintah pusat
kemudian merealisasikan konsep desentralisasi dan otonomi daerah melalui dua
undang-undang yaitu dua Undang-undang tentang desentralisasi yaitu UU No. 32
tahun 2004 (perubahan atas UU No 22 tahun 1999)
yang menyangkut desentralisasi administrasi, sementara UU No. 33 tahun
2004 (perubahan atas UU No 25 tahun 1999) yang menyangkut administrasi
keuangan.
Dua undang-undang
ini menandakan keseriusan baru atas upaya menjabarkan desentralisasi demokratis
oleh pemerintahan pusat. Namun, masih belum jelas tentang cakupan dan implikasi
dari penerapannya. Rekomendasi yang diajukan dalam laporan ini bertujuan untuk
menekankan pentingnya menjalankan proses desentralisasi lewat cara-cara yang
demokratis dan adil.
Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa proses tranformasi pemerintahan dan politik pembangunan dari
sentralisasi ke desentralisasi membuat daerah-daerah lain diluar Jakarta
menjadi berirama dan dinamis. Implikasi positif khususnya berkaitan dengan
pembangunan adalah lahirnya kota-kota baru diluar Jakarta yang memiliki sarana
dan prasarana social yang hampir mendekati Jakarta. Sementara dari sisi
pemerintahan, daerah telah banyak menyumbang ide dan gagasan sendiri bagaimana
mengelola pemerintahan daerahnya agar mampu mensejahterakan rakyatnya.
Berbeda dengan
daerah-daerah lain, transformasi dari sentralisasi ke desentralisasi, praktis
tidak membuat Jakarta mengalami perubahan signifikan, kecuali bertambahnya
Mol-Mol di Ibu kota dan meningkatnya masyarakat yang hidup dikolong jembatan.
Dilain pihak tingkat gap sosial masyarakat di Jakarta juga sangat tinggi.
Pusat-pusat ekonomi, pendidikan, dan politik hampir didomonasi oleh para
pemilik capital yang biasanya dari golongan masyarakat profesi mapan seperti
pengusaha, pejabat publik dan artis. Sementara masyarakat ekonomi lemah
memenuhi pinggiran ibu kota, bahkan menghiasi kolong jembatan dan jalanan ibu
kota.
0 komentar:
Posting Komentar