Oleh: Subiran Paridamos S.Ip, M.Ik
Setelah rencana pemerintah yang ingin menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) sempat menjadi isu krusial beberapa minggu terakhir ini, kita berharap masyarakat kembali berfokus pada isu korupsi dan koruptor sebagai permasalahan utama dan terutama yang melilit bangsa ini yang harus segera mendapatkan perhatan ekstra.
Isu kenaikan BBM yang dihembuskan pemerintah melalui alibi penyehatan APBN juga tidak bisa dilepaskan dari korupsi dan koruptor.
Sebab, sedikit banyak korupsi merupakan kontributor utama yang membuat APBN kita menjadi terancam devisit. Dengan demikian, maka masyarakat seantero republic seharusnya kembali menggugat maraknya pejabat public yang terkena sindrom penyakit kawanan pejabat public (KKN).
Sebagaimana mafhum, di Indonesia, selain persolan kemiskinan, pengangguran serta BBM, korupsi mungkin merupakan salah satu isu politik, hukum, budaya, pendidikan, dan agama yang paling susah untuk dibumihanguskan dari etalase hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Segala cara telah dikerahkan oleh para penentu kebijakan tertinggi republik ini untuk meluluhlantahkan wacana dan laku biadab tersebut.
Tetapi dengan usia republik yang sudah mendekati 67 tahun serta 13 tahun usia reformasi, tidak kunjung juga ada penyelesaiannya, alih-alih, korupsi dan koruptor justru semakin terorganisir hingga menghegemoni hampir segala sendi hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Parahnya wacana dan laku koruptif tersebut di aktori oleh mereka-mereka yang duduk di kursi kekuasaan eksekutif, legilislatif dan yudikatif.
Ketiga lembaga suprastrusktur politik tersebut kadang kala sering berkolaborasi untuk menghalalkan budaya koruftif tersebut melalui legitimasi dan legalisasi regulasi. Artinya jika ketiga lembaga tersebut sudah terkooptasi oleh wacana dan laku politik yang serba koruftif, maka kepada siapa lagi masyarakat Indonesia menggantungkan harapannya dalam penuntasan budaya yang edan dan murtad tersebut.
Sehingga tidak salah jika kemudian sekilas kita melihat bahwa upaya yang selama ini dilakukan oleh para penegak hukum kita dalam memerangi korupsi, justru hanya merupakan permainan politik penyesatan. Alias perang-perangan melawan korupsi.
Bagaimana mungkin penegak hukum kita bisa menyelesaikan atau membumihaguskan korupsi, sementara lembaga penegak hukum merupakan salah satu corong mafia korupsi.
Cukup ironis memang jika membandingkan antara ekspektasi dan artikulasi wacana yang digulirkan melalui wacana dan laku politik entah melalui media cetak maupun eletronik oleh para penentu kebijakan tertinggi di republik ini, dengan hasil nyata pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum kita misalnya KPK.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa dibalik atensi dan ekspektasi disati sisi dan daya serta upaya yang menggunung dari semua kalangan dalam menumpas budaya setan tersebut, korupsi masih tetap saja merajalela dalam etalase hidup dan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita khususnya dilembaga suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif)? Apakah niatan dan cara yang kita lakukan selama ini hanyalah ritual seremoni simbolis untuk menegaskan bahwa sesungguhnya kita tidak punya kekuataan apa-apa untuk berperang dengan para koruptor dan mazhab pemikiran korupsi-isme?
Korupsi dan koruptor sebenarnya adalah sebuah term yang sudah lama mendarah daging dalam nekleus akal rakyat Indonesia sejak pra kolonialisme eropa hingga pasca kemerdekaan. Tetapi entah mengapa beberapa tahun terakhir, khususnya pasca reformasi bergulir, term tersebut begitu populer, sampai-sampai rakyat seantero republik ini begitu ilfil dan alergi dengan term “korupsi dan koruptor”.
Hal tersebut tentu erat kaitannya dengan terbukanya kran demokratisasi yang menuntut keterbukaan partisipasi politik disatu sisi dan akses informasi oleh masyarakat disisi yang lain. Sehingga korupsi yang tidak tercium dan tersentuh oleh masyarakat dimasa dekade pemerintahan rezim orde baru, mengalami transformasi yang cukup signifikan di jaman orde reformasi seperti sekarang ini. Akhirnya hampir setiap ruang dan waktu, kita bisa mengetahui, mendeteksi dan mengakses kasus-kasus korupsi yang diskenariokan oleh para koruptor dilembaga tinggi negara.
Hal ini tentu seiring dan sejalan dengan tuntutan dan dukungan dari kalangan masyarakat dengan partisipasi politiknya untuk menyerukan pemberantasan korupsi secara masif dan konsisten.
Hanya saja, ada nada pesimis dari sebagian kalangan masyarakat tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, meski KPK berdiri didepan masyarakat dalam skenario pemberantasan korupsi.
Sebab KPK yang merupakan lembaga super body dalam hal pemberantasan korupsi yang begitu dipercaya masyarakat, ternyata tidak jarang kemasukan angin kepentingan politik. Apalagi mengingat pemilihan pimpinan lembaga tersebut, juga merupakan out put dari proses politik di DPR yang tentunya mau tidak mau dan suka tidak suka kemungkinan besar bersentuhan dengan kepentingan politik tertentu.
Sehingga konsekuensi logisnya adalah orientasi pemberantasan korupsi di Indonesia tentu juga akan sarat dengan tendensi kepentingan politik.
Dengan situasi dan kondisi yang demikian, pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah Apakah lembaga KPK secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum sudah terindikasi tidak tahan tempa lagi dalam mengurai benang kusut lingkaran setan problemantika korupsi dan koruptor yang merajalela di republik ini?.
Apakah reaksi dan aksi tersebut justru sebagai petanda bahwa kita memang kurang mampu mengurai esensi nilai kemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa, sehingga hantaman gelombang problem kebangsaan dan kenegaraan misalnya korupsi tidak mampu kita bumi hanguskan?. Jika menengok Indonesia dijaman lalu, seharusnya kita harus optimis dalam mengurai segala problemantika sistem koruptif yang melilit bangsa dan negara.
Tiga setengah abad dijajah oleh sistem yang korup bangsa eropa (Portugis, Belanda, Inggris, Prancis) dan kampiun Asia (Jepang) dengan segala modus, tekstur dan konturnya yang bervariasi, tidak membuat bangsa seantero nusantara ini, putus asa dalam mengkonstruksi, mendekonstruksi hingga merekonstruksi dasar, cara, strategi, tehnik dan taktik dalam melumpuhkan sistem tersebut.
Dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh, persatuan diantara semua kalangan dan komitmen serta konsistensi untuk membumihanguskan sistem korup yang dibawah bangsa penjajah tersebut, akhirnya tahapan pertama dari agenda pemberantasan korupsi (mengusir penjajah dari bumi Indonesia) teraktual ketika bangsa ini terbentuk di tahun 1928 dan negara ini terlahir ditahun 1945.
Tiga setengah abad bukanlah waktu yang singkat untuk keluar dari gulungan gelombang besar sistem korup yang telah meluluh-lantahkan bangunan nilai kultural, mental dan spritual kemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa. Para pemimpin dan rakyat Indonesia ketika itu bahu membahu dengan slogan pantang menyerah dan mengeluh dengan keadaan yang begitu mematikan tersebut.
Cukup menggelikan memang, jika menyaksikan wacana dan laku politik dan hukum sebagian besar eleman bangsa entah itu pengamat, praktisi, ilmuwan, negarawan, akademisi, mahasiswa, tukang becak, penjual sayur, petani hingga buruh dewasa ini yang seharusnya mencontoh kiprah dan perjuangan para pendahulunya yang begitu optimis, justru begitu pesimis dan bahkan ilfil dan alergi dengan “Korupsi dan Koruptor”.
Sehingga agenda pemberantasan korupsi mandek sebelum dilakukan. Ibarat sebuah peri bahasa “kalah sebelum berperang. Akhirnya keilfilan dan kealergian tersebut semakin membuat kita kehilangan pijakan berpikir, berkata dan bertindak untuk mengurai akar pembentuk, pencegahan dan penindakan dalam membumi hanguskan korupsi-isme dan koruptornya.
Bukankah ini mengindikasikan bahwa bangsa kita memiliki mental budak dan jajahan?
Apakah ia demikan?
Ataukah mungkin bangsa dan negara kita masih sebatas imagined community versi Benedict DOG Anderson yang sesungguhnya belum mampu mengurai esensi dan substansi nilai kemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa dan negara dalam diagram aktual comunity?, mengingat selama ini, nilai ketuhanan dan keagamaan sebagai terjemahan sila pertama Pancasila hanya terpampang dalam etalase nilai ideal atau sebatas mitos yang hanya dijadikan azimat politik sebagai afirmasi, seolah-olah bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan ketauhidan padahal kenyataannya sebaliknya.
Parahnya lagi, Ilmu pengetahuan tentang kearifan kebangsaan dan kenegaraan yang melekat dalam memori otak kita sebagai generasi pelanjut kemerdekaan, ternyata hanya mampu menjadi perpustakaan akal yang tidak terjamah oleh laku perbuatan. Memang sangat ironis, mengingat nenek moyang kita dulu sangat miskin teori agama dan ilmu pengetahuan?, tapi mereka mampu menorehkan kuas keuletan visi peradaban yang lebih bijak ketimbang peradaban kita hari ini?.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sedikit atau banyaknya, penjajahan sistem korup orang eropa (Portugis, Belanda dan Inggris) dan Asia jauh (Jepang) telah membentuk mental dan spritual bangsa ini dalam bingkai hegemoni pikiran, perkataan dan perbuatan untuk melanggengkansistem tersebut, sehingga visi peradaban yang kita khittahkan pasca kemerdekaan sama dan serupa dengan visi peradaban yang dititahkan sistem korup orang eropa tersebut.
Bangsa dan negara Indonesia telah 66 tahun merdeka, dan 13 tahun keluar dari penjajahan orde baru, tetapi sistem kebangsaan dan kenegaraan kita tetap saja mengaimpor sistem korup yang pernah menjadi penjajah bangsa kita dimasa lalu. Parahnya lagi, ternyata kita telah memproduksi kembali sistem korup tersebut dengan aksesoris yang lebih canggih, agar secara fisik-material berbeda dengan sistem orang eropa, tetapi tidak jauh berbeda secara filosofis-substansial.
Lihat dan saksikan saja dalam hidup dan kehidupan keseharian kita, mulai dari rumah tangga, sekolah, kampus, lembaga suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif), LSM, pasar, hingga terminal, ternyata turut pula memproduksi bahkan melanggengkan sistem korup dan laku perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang selama ini kita hujat dan kecam dengan begitu emosional.
Penulis sengaja tidak mengetengahkan defini korupsi, karena penulis merasa bahwa tidak ada satupun ilmuwan dan filosof sosial yang bersepakat terhadap definisi definitif atas term korupsi. Tetapi mereka sepakat akan satu hal, bahwa korupsi adalah tindakan kejahatan karena telah mengambil hak yang bukan menjadi haknya.
Sehingga jika ditinjau dari persfektif nilai kemanusiaan, sesungguhnya korupsi adalah serpihan kecil dari hasrat nafsu kebobrokan manusia sejak bercengkrama dengan lingkungan sosial, atau puing atom dari bangunan kemunafikan kita dalam mencari, memahami, dan menerjemahkan nilai kemanusiaan yang sejatinya.
Korupsi sebagai suatu tindak kejahatan yang menyimpang dari nilai kemanusiaan, sebenarnya sudah lama mendapatkan posisinya dalam percaturan sejarah peradaban manusia, sehingga usianya hampir sama dengan peradaban itu sendiri. Sebab manusia sendirilah yang menciptakan sistem korup tersebut.
Belajar dari para Nabi
Salah satu alasan yang bisa dideteksi dari proses diutusnya para nabi di muka bumi adalah untuk membumihanguskan sistem yang diciptakan, dipelihara dan dikultuskan oleh manusia tersebut, sehingga tidak rancu jika kemudian hampir sebagian besar para nabi dan rasul diturunkan dalam konstalasi peradaban yang serba korup.
Mereka hadir dengan membawa misi untuk meluruskan pandangan dunia (aqidah) dan pandangan hidup (syariah/ideologi)manusia dalam mengarungi dan mengurai hidup dan kehidupannya agar tidak terjerembab oleh wacana dan laku peradaban yang koruptif tersebut.
Mereka meyakini bahwa peradaban manusia yang berdiri kokoh dibawah payung sistem yang korup, hanya bisa dibumihanguskandengan dasar, cara dan tujuan yang diturunkan oleh sang pencipta hidup dan kehidupan. Sebab tidak ada visi peradaban yang lebih arif dan bijak dari visi peradaban yang dititahkan oleh tuhan.
Oleh karena itu korupsi dan koruptor hanya bisa dibumi-hanguskan dengan cara dan metode yang dibawa oleh para manusia maksum diatas. Sebab cara dan metode yang mereka aktualisasikan adalah karunia dan tuntunan ilahi yang tidak bisa ditandingi oleh teori manusia semoderen apapun.
Mereka memulainya dengan melakukan revolusi pemikiran manusia yang serba materialistis tersebut.
Sebab akar dari sistem koruptif yang mengangkangi dunia manusia adalah pandangan dunia materialisme tersebut. Mereka menyemaikan pada akal dan hati manusia bahwa pandangan dunia materialis harus didiskreditkan dengan konsep ketauhidan. Sebuah kredo yang menyeru, membimbing dan mengartikulasikan kehidupan dibawah naungan sang maha pencipta. Bahwa sesungguhnya dialah dzat yang maha tahu (lebih tahu dari KPK), maha kuasa (lebih kuasa dari presiden dan raja), maha perkasa (lebih perkasa dari jaksa, polisi, hakim, pengacara dan LSM), serta maha-maha yang lain yang tidak terbatas.
Bahwa segala yang ada di alam semesta dengan segala hiruk pikuknya adalah pengetahuannya, sehingga segala tindak tanduk fenomena mikro dan makro kosmos senantiasa dalam pengawasannya termasuk korupsi.
Manusia diajarkan, dibimbing, dinasehati, dijanjikan, serta ditakut-takuti untuk berpikir, berkata dan bertindak hanya atas keridhaannya. Menjadi ibu rumah tangga karena Allah, menjadi ayah karena Allah, menjadi anak, menantu, pejabat, mahasiswa, tukang becak, hakim, jaksa, pengacara, polisi, uztad, ulama, dan lain-lain semata-mata dari, oleh dan untuk Allah.
Bukannya berpikir dan bertindak karena yang lain.
Korupsi akan selamanya terjadi jika wacana dan laku manusia masih saja diorientasikan bahkan mengkultuskan materi. Salah satu contohnya adalah mengapa pejabat publik di negara kita terus saja melakukan laku koruptif? Itu karena mereka menyembah materi (anak dan istrinya). Mereka menjadi pejabat yang korup karena ingin memenuhi kebutuhan anak dan istri dengan tendensi material.
Beli mobil buat anak, beli rumah baru buat istri, dan beli-beli yang lain demi, oleh dan untuk anak dan istri.
Konsep ketauhidan yang diusung oleh para nabi yang pernah ada dimuka bumi merupakan ushul/pondasi awal mengurai hidup dan kehidupan sebagai manusia dalam memberantas sistem korup yang diciptakan oleh manusia lain yang tidak mempercayai allah sebagai tuhan pencipta kosmos (mikro maupun makro).
Inilah esensi beragama yang menjadi atensi urgen yang bisa menjadi pijakan manusia dalam merangkai serpihan demi serpihan kebobrokannya di tengah tandus dan keringnya wacana dan lakuketauhidan.
Berdasarkan uraian diatas, maka sesungguhnya korupsi awal, terbesar dan terdahsyat umat manusia bukanlah mengambil hak orang lain atau rakyatnya, apalagi jika sifatnya material (uang) dan diperoleh entah melalui legalisasi aturan maupun penyimpangan regulasi, tetapi korupsi terbesar dan terdahsyat yang dilakukan oleh umat manusia adalah korupsi terhadap nilai kemanusiaan dan ketauhidan itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar