Media Terupdate

Sabtu, 28 Mei 2016

KPK DAN SKENARIO PEMBERANTASAN KORUPSI

Penulis: Subiran Paridamos S.Ip, M.Ik (Pendiri Lembaga Pers Mahasiswa UMJ &Pendiri Sekolah Peradaban Jurnalis Indonesia)

Maraknya wacana dan perilaku korupsi yang dipertontonkan oleh pajabat publik kita dewasa ini, telah menjadikan rakyat menyandarkan ekspektasi pemberantasan penyakit kawanan pejabat publik (KKN) tersebut kepada lembaga super body dalam domain hukum, yakni Komisi Pemberantasan korupsi (KPK). 


Mulai dari pengamat atau pakar politik dan pakar hukum sampai masyarakat kampus turut serta dalam mengawal setiap agenda pemberantasan korupsi yang di lakukan KPK. Sehingga hampir setiap waktu dan tempat, wacana politik tersebut senantiasa ramai oleh hingar bingar disputasi baik dari segi analisis ketokohan, integritas dan track recort masing-masing komisioner, hingga indikasi teror politik senayan dalam mengklasifikasi dan memilih kandidat yang layak untuk mendiuduki lembaga super body tersebut. 
Setelah melalui proses panjang uji wacana dan perilaku dalam mengawal agenda pemberantasan korupsi, akhirnya meski tidak memenuhi seluruh ekspektasi masyarakat, minimal pimpinan KPK telah mampu menyuguhkan tontonan pemberantasan korupsi yang cukup masif. Sehingga berbagai kasus yang dahulu tidak mampu disentuh oleh KPK, kini telah mampu dibongkar.  
Terlepas apakah hadirnya para pimpinan KPK tersebut memunculkan kalkulasi politik yang saling tumpang tindih, kita patut menghargai adanya perbedaan pandangan mengenai sosok pimpinan KPK dalam membongkar berbagai kasus korupsi. 
Hal yang wajar jika ada kelompok tertentu yang kecewa, sakit hati, pesimis dan lain sebagainya dalam merespon kiprah para pimpinan KPK dalam memberantas korupsi selama ini, begitu pula halnya jika ada kelompok yang begitu optimis, menaruh harapan berlebih serta bahagia atas segala hasil dan prestasi yang ditorehkan para pimpinan KPK tersebut.
Yang jelas kita patut memberikan kesempatan kepada siapa saja yang memiliki kompetensi dan political will untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi yang ada dibumi nusantara ini, khususnya kasus korupsi kelas kakap yang telah terbenam dalam etalase politik mafia. 
Disorientasi
Tidak bisa dinafikan bahwa kondisi dunia hukum kita saat ini sangat sarat dengan praktik penegakan hukum yang mengalami disorientasi kinerja. Sehingga sebelum terlalu jauh mengurai ekspektasi dan atensi terhadap persoalan kiprah KPK selama ini, alangkah baiknya masyarakat mampu memetakan kondisi real mengenai patologi disorientasi dalam dunia lembaga hukum dan penegakan hukum kita. Adapun disorientasi yang dimaksud adalah;
Pertama, disorientasi  tugas dan fungsi penegak hukum. Polisi, jaksa, pengacara dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri. Hal itu terdeteksi dengan terang benderang melalui keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian hingga lembaga super body (KPK) yang merupakan salah satu faktor kemandulan institusi penegak hukum di atas dalam menangani proyek pemberantasan mafia hukum, apalagi lembaga penegak hukum tersebut pun terindikasi secara jelas dan tegas sebagai bagian dari mafia hukum itu sendiri disatu sisi. Serta disisi yang lain, pelaksanaan  peran dan fungsi lembaga penegak hukum yang belum efektif. 
Kedua, Disorientasi instutusi pengawasan, penghakiman atau pengadilan. Disorientasi ini menemukan teksurnya ketika muncul ketidakjelasan tentang batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Dari domain pengawasan, penghakiman dan pengadilan internal, yang keseringan terjadi kemudian adalah kontrol internal dilakukan oleh masyarakat sipil, padahal berdasarkan logika birokrasi seharusnya kotrol, penghakiman, pengadilan dan pengawasan dilakukan oleh lembaga pengawas internal), apalagi mengingat khususnya petinggi institusi pun tersandung masalah. Sedangkan dari domain eksternal, pengawasan, penghakiman dan pengadilan justru dilakukan oleh orang dalam lembaga penegak hukum itu sendiri. Dari logika jongkok inilah nampak ketidakjelasan antara siapa mengawasi siapa, siapa meneror siapa, dan siapa yang menghakimi siapa.
Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada KPK sebagai lembaga super body atau lembaga pengawasan internal masing-masing, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang Presiden saja. 
Ketiga, disorientasi pemaknaan hukuman. Terdapat kekeliruan yang mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan. Logika penitikberatan penindakan ketimbang pencegahan merupakan cara berpikir yang sangat fatal dalam menegakkan hokum dan keadilan.
Konsekuensi logis lembaga super body
Mengacu pada ego kelembagaan, mau tidak mau serta suka tidak suka, pimpinan KPK kita selama ini telah menyiapkan langkah strategis untuk menangani dan mengungkap aktor utama di balik semua kasus yang belum tersentuh hukum. Apalagi mengingat misi utama mereka ketika pertama kali terpilih sebagai pimpinan KPK adalah menyelesaikan kasus korupsi kelas kakap. Sehingga tidak salah jika kemudian upaya penyelesaian kasus korupsi seharusnya memberikan atensi yang signifikan terhadap kasus korupsi kelas kakap secara komprehensip, mengingat tujuan pembentukan lembaga tersebut adalah untuk memberantas korupsi hingga keakar-akarnya. 
Kasus korupsi seperti BLBI, BULOQ, CENTURY, Mafia Pajak, Tiket Pelawat, Wisma Atlet dan lain-lain yang merugikan negara hingga triliunan rupiah yang sempat mewarnai wacana pemberantasan korupsi oleh KPK dan LSM, seharusnya mendapatkan porsi concern khusus dari pimpinan KPK yang baru. Namanya saja kasus korupsi kelas kakap, berarti sumber, penyalur, motif, penggunaan serta implikasinya juga serba kakap alias luar biasa. Sehingga tidak salah jika kemudian korupsi kelas kakap disinonimkan dengan genosida (pembantaian umat manusia secara membabi buta). Sehingga merupakan konsekuensi logis jika kemudian kasus tersebut ditangani dengan sentuhan yang luar biasa dan khusus pula. 
Saat ini memang lumayan banyak pejabat tinggi, tokoh politik, tokoh agama, dan jebolan kapitalis yang sudah (dan sedang) diperiksa aparat penegak hukum karena diduga melakukan korupsi. Namun, banyak kalangan menilai upaya itu masih bersifat tebang pilih. Koruptor kelas Teri saja yang ditindak, sementara yang kelas Kakap tidak disentuh. Mengapa ini terjadi? Aparat penegak hukum justru ikut melebur dan bahkan menjadi bagian dari sistem koruptif itu. Logikanya sederhana, bila mereka gagal entah itu karena intervensi politis atau konflik kepentingan lainnya dalam menindak dan menjerat koruptor yang jelas-jelas bisa dipidanakan, itu berarti mereka bersikap permisif dan kompromistis, sehingga turut menyuburkan praktek korupsi yang seharusnya mereka tentang.
Keterperangkapan aparat penegak hukum dalam sistem yang koruptif itu secara tak langsung mengungkapkan sisi personalitas mereka. Inilah problem berikutnya, mereka menjadi aparat yang bertindak sesuai dengan petunjuk eksternal dan mengabaikan keputusan dan kesadaran personal. Dalam bahasa politis, mereka bekerja dan bertindak berdasarkan peran yang ditentukan oleh spiral koruptif struktur atau sistem. Ketakberdayaan aparat penegak hukum berhadapan dengan lingkaran koruptif itu memudarkan kualitas kejujuran, reputasi, dan integritas moral personal mereka. Ini berakibat langsung pada mandeknya upaya pemberantasan korupsi
Fakta bahwa negara kita selalu ikut-ikutan dalam klasemen sepuluh besar negara terkorup di dunia seharusnya menjadi pukulan telak bagi kita semua sebagai masyarakat Indonesia, jangan malah dijadikan sebagai kebanggaan dan kemuliaan.
Ekspektasi masyarakat akan penuntasan kasus korupsi kelas kakap diatas tentunya hanya akan menjadi utofia belaka jika pimpinan KPK ternyata hanya mampu mengumbar statement-statement keras dan tegas, tetapi tidak mampu mengimplementasikannya dalam bentuk tindakan real pemberantasan korupsi yang tidak memandang stutus dan posisi hukum, politik dan ekonomi seseorang. 
Tuntutan realisasi setiap statement pimpinan KPK yang berkomirmen menyelesaikan semua kasus korupsi tersebut, menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, karena tugas KPK memamng seperti demikian. Bayangkan, berdasarkan amanat fungsionalnya, misi KPK jelas, mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Itu berarti segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dituntaskan. Visinya pun tidak main-main. KPK ditugasi menjadi penggerak perubahan, supaya bangsa ini menjadi bangsa yang antikorupsi.
Bila diukur dari bentuk dan prosesnya, sejak pembentukannya, selama ini KPK memang telah berupaya menemukan figur pimpinan yang memiliki kualitas seperti kecakapan intelektual, wawasan yang luas, pengetahuan yang mumpuni, serta reputasi dan integritas moral yang baik. Hanya saja, kita juga harus menggaris bawahi bahwa mutu, kualitas, serta berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak bisa diukur hanya dari keterpilihan pemimpin yang ideal diatas, karena itu hanya langkah awal. Bukti bahwa pimpinan benar-benar orang yang tepat baru bisa dinilai dan diketahui ketika mereka sudah selesai bekerja. Artinya, kemampuan mereka untuk merealisasi visi dan misi KPK menjadi ukuran kualitas mereka yang sesungguhnya. Inilah yang diharapkan dan ditunggu-tunggu publik.
Pertimbangan 
Untuk mewujudkan harapan ini memang tidak mudah. Dengan berkaca pada problem besar lingkaran setan sistem koruptif di atas, minimal, ada dua hal yang perlu ditumbuh-kembangkan adalah; 
Pertama, sebagaimana demokrasi yang tidak bisa hidup tanpa partisipasi politik publik, maka penegakan hukum dan pemberantasan korupsi juga tidak bisa terjadi tanpa pengawasan dan tekanan publik. Itu berarti kita tidak bisa sepenuhnya hanya berharap pada kesadaran pribadi para pemimpin KPK apalagi ketua KPK seorang diri. Peran pengawasan ini tentu saja diharapkan muncul dari media, pers, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, intelektual, atau masyarakat pada umumnya, sehingga personel KPK selalu diingatkan dan responsif terhadap tuntutan berbagai kalangan agar usaha pemberantasan korupsi itu benar-benar dijalankan dan membawa hasil.
Kedua, partai politik sebagai gerbong penyalur pejabat publik seharusnya memiliki political will untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi dari KPK, apalagi mengingat aktor korupsi yang dominan adalah para politisi, baik yang menjabat pada lembaga eksekutif maupun pada lembaga legislative dan yudikatif. 
Ketiga, hukuman bagi para koruptor seharusnya dimaksimalkan. Pengadilan menjadi lembaga yang menakutkan bagi mereka yang hobby melakukan korupsi. Sehingga implikasi efek jera bagi siapapun untuk melakukan korupsi bisa menjadi pencegah alternatif selain pendidikan anti korupsi. 
Jika kemudian, hal di atas pula hanya dijadikan azhimat politik dalam rangka meraup popularitas, maka jangan harap bangsa dan negara ini bisa keluar dari kubangan korupsi yang penuh dengan kehinaan dan kemurtadan.
Tidak ada kata tidak untuk mengatakan dan merealisasikan bahwa kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dibumihanguskan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini.

0 komentar:

Posting Komentar

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html