Penulis: Subiran Paridamos S.Ip, M.Ik (Pendiri
Lembaga Pers Mahasiswa UMJ &Pendiri Sekolah Peradaban Jurnalis Indonesia)
Maraknya wacana dan perilaku korupsi yang dipertontonkan oleh
pajabat publik kita dewasa ini, telah menjadikan rakyat menyandarkan ekspektasi
pemberantasan penyakit kawanan pejabat publik (KKN) tersebut kepada lembaga
super body dalam domain hukum, yakni Komisi Pemberantasan korupsi (KPK).
Mulai dari
pengamat atau pakar politik dan pakar hukum sampai masyarakat kampus turut
serta dalam mengawal setiap agenda pemberantasan korupsi yang di lakukan KPK.
Sehingga hampir setiap waktu dan tempat, wacana politik tersebut senantiasa
ramai oleh hingar bingar disputasi baik dari segi analisis ketokohan,
integritas dan track recort masing-masing komisioner, hingga indikasi teror
politik senayan dalam mengklasifikasi dan memilih kandidat yang layak untuk
mendiuduki lembaga super body tersebut.
Setelah
melalui proses panjang uji wacana dan perilaku dalam mengawal agenda
pemberantasan korupsi, akhirnya meski tidak memenuhi seluruh ekspektasi
masyarakat, minimal pimpinan KPK telah mampu menyuguhkan tontonan pemberantasan
korupsi yang cukup masif. Sehingga berbagai kasus yang dahulu tidak mampu
disentuh oleh KPK, kini telah mampu dibongkar.
Terlepas
apakah hadirnya para pimpinan KPK tersebut memunculkan kalkulasi politik yang saling
tumpang tindih, kita patut menghargai adanya perbedaan pandangan mengenai sosok
pimpinan KPK dalam membongkar berbagai kasus korupsi.
Hal yang
wajar jika ada kelompok tertentu yang kecewa, sakit hati, pesimis dan lain
sebagainya dalam merespon kiprah para pimpinan KPK dalam memberantas korupsi
selama ini, begitu pula halnya jika ada kelompok yang begitu optimis, menaruh
harapan berlebih serta bahagia atas segala hasil dan prestasi yang ditorehkan
para pimpinan KPK tersebut.
Yang jelas
kita patut memberikan kesempatan kepada siapa saja yang memiliki kompetensi dan
political will untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi yang ada dibumi
nusantara ini, khususnya kasus korupsi kelas kakap yang telah terbenam dalam
etalase politik mafia.
Disorientasi
Tidak bisa
dinafikan bahwa kondisi dunia hukum kita saat ini sangat sarat dengan praktik
penegakan hukum yang mengalami disorientasi kinerja. Sehingga sebelum terlalu
jauh mengurai ekspektasi dan atensi terhadap persoalan kiprah KPK selama ini,
alangkah baiknya masyarakat mampu memetakan kondisi real mengenai patologi
disorientasi dalam dunia lembaga hukum dan penegakan hukum kita. Adapun
disorientasi yang dimaksud adalah;
Pertama,
disorientasi tugas dan fungsi penegak hukum. Polisi, jaksa, pengacara dan
hakim saat ini tampak kehilangan jati diri. Hal itu terdeteksi dengan terang
benderang melalui keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi
Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian hingga lembaga super body (KPK)
yang merupakan salah satu faktor kemandulan institusi penegak hukum di atas
dalam menangani proyek pemberantasan mafia hukum, apalagi lembaga penegak hukum
tersebut pun terindikasi secara jelas dan tegas sebagai bagian dari mafia hukum
itu sendiri disatu sisi. Serta disisi yang lain, pelaksanaan peran dan
fungsi lembaga penegak hukum yang belum efektif.
Kedua,
Disorientasi instutusi pengawasan, penghakiman atau pengadilan. Disorientasi
ini menemukan teksurnya ketika muncul ketidakjelasan tentang batas-batas sistem
pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Dari domain
pengawasan, penghakiman dan pengadilan internal, yang keseringan terjadi
kemudian adalah kontrol internal dilakukan oleh masyarakat sipil, padahal
berdasarkan logika birokrasi seharusnya kotrol, penghakiman, pengadilan dan
pengawasan dilakukan oleh lembaga pengawas internal), apalagi mengingat
khususnya petinggi institusi pun tersandung masalah. Sedangkan dari domain
eksternal, pengawasan, penghakiman dan pengadilan justru dilakukan oleh orang
dalam lembaga penegak hukum itu sendiri. Dari logika jongkok inilah nampak
ketidakjelasan antara siapa mengawasi siapa, siapa meneror siapa, dan siapa
yang menghakimi siapa.
Lebih
tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus
dipertanggungjawabkan, kepada KPK sebagai lembaga super body atau lembaga
pengawasan internal masing-masing, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas
kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat
sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya
kepada seorang Presiden saja.
Ketiga,
disorientasi pemaknaan hukuman. Terdapat kekeliruan yang mendasar mengenai
hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan
pertobatan. Logika penitikberatan penindakan ketimbang pencegahan merupakan
cara berpikir yang sangat fatal dalam menegakkan hokum dan keadilan.
Konsekuensi
logis lembaga super body
Mengacu
pada ego kelembagaan, mau tidak mau serta suka tidak suka, pimpinan KPK kita
selama ini telah menyiapkan langkah strategis untuk menangani dan mengungkap
aktor utama di balik semua kasus yang belum tersentuh hukum. Apalagi mengingat
misi utama mereka ketika pertama kali terpilih sebagai pimpinan KPK adalah
menyelesaikan kasus korupsi kelas kakap. Sehingga tidak salah jika kemudian
upaya penyelesaian kasus korupsi seharusnya memberikan atensi yang signifikan
terhadap kasus korupsi kelas kakap secara komprehensip, mengingat tujuan
pembentukan lembaga tersebut adalah untuk memberantas korupsi hingga
keakar-akarnya.
Kasus korupsi
seperti BLBI, BULOQ, CENTURY, Mafia Pajak, Tiket Pelawat, Wisma Atlet dan
lain-lain yang merugikan negara hingga triliunan rupiah yang sempat mewarnai
wacana pemberantasan korupsi oleh KPK dan LSM, seharusnya mendapatkan porsi
concern khusus dari pimpinan KPK yang baru. Namanya saja kasus korupsi kelas
kakap, berarti sumber, penyalur, motif, penggunaan serta implikasinya juga
serba kakap alias luar biasa. Sehingga tidak salah jika kemudian korupsi kelas
kakap disinonimkan dengan genosida (pembantaian umat manusia secara membabi
buta). Sehingga merupakan konsekuensi logis jika kemudian kasus tersebut
ditangani dengan sentuhan yang luar biasa dan khusus pula.
Saat ini
memang lumayan banyak pejabat tinggi, tokoh politik, tokoh agama, dan jebolan
kapitalis yang sudah (dan sedang) diperiksa aparat penegak hukum karena diduga
melakukan korupsi. Namun, banyak kalangan menilai upaya itu masih bersifat
tebang pilih. Koruptor kelas Teri saja yang ditindak, sementara yang kelas
Kakap tidak disentuh. Mengapa ini terjadi? Aparat penegak hukum justru ikut
melebur dan bahkan menjadi bagian dari sistem koruptif itu. Logikanya
sederhana, bila mereka gagal entah itu karena intervensi politis atau konflik
kepentingan lainnya dalam menindak dan menjerat koruptor yang jelas-jelas bisa
dipidanakan, itu berarti mereka bersikap permisif dan kompromistis, sehingga
turut menyuburkan praktek korupsi yang seharusnya mereka tentang.
Keterperangkapan
aparat penegak hukum dalam sistem yang koruptif itu secara tak langsung
mengungkapkan sisi personalitas mereka. Inilah problem berikutnya, mereka
menjadi aparat yang bertindak sesuai dengan petunjuk eksternal dan mengabaikan
keputusan dan kesadaran personal. Dalam bahasa politis, mereka bekerja dan
bertindak berdasarkan peran yang ditentukan oleh spiral koruptif struktur atau
sistem. Ketakberdayaan aparat penegak hukum berhadapan dengan lingkaran
koruptif itu memudarkan kualitas kejujuran, reputasi, dan integritas moral
personal mereka. Ini berakibat langsung pada mandeknya upaya pemberantasan
korupsi
Fakta
bahwa negara kita selalu ikut-ikutan dalam klasemen sepuluh besar negara
terkorup di dunia seharusnya menjadi pukulan telak bagi kita semua sebagai
masyarakat Indonesia, jangan malah dijadikan sebagai kebanggaan dan kemuliaan.
Ekspektasi
masyarakat akan penuntasan kasus korupsi kelas kakap diatas tentunya hanya akan
menjadi utofia belaka jika pimpinan KPK ternyata hanya mampu mengumbar
statement-statement keras dan tegas, tetapi tidak mampu mengimplementasikannya
dalam bentuk tindakan real pemberantasan korupsi yang tidak memandang stutus
dan posisi hukum, politik dan ekonomi seseorang.
Tuntutan
realisasi setiap statement pimpinan KPK yang berkomirmen menyelesaikan semua
kasus korupsi tersebut, menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, karena tugas
KPK memamng seperti demikian. Bayangkan, berdasarkan amanat fungsionalnya, misi
KPK jelas, mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Itu berarti segala
permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dituntaskan.
Visinya pun tidak main-main. KPK ditugasi menjadi penggerak perubahan, supaya
bangsa ini menjadi bangsa yang antikorupsi.
Bila
diukur dari bentuk dan prosesnya, sejak pembentukannya, selama ini KPK memang
telah berupaya menemukan figur pimpinan yang memiliki kualitas seperti
kecakapan intelektual, wawasan yang luas, pengetahuan yang mumpuni, serta
reputasi dan integritas moral yang baik. Hanya saja, kita juga harus menggaris
bawahi bahwa mutu, kualitas, serta berhasil tidaknya upaya pemberantasan
korupsi tidak bisa diukur hanya dari keterpilihan pemimpin yang ideal diatas,
karena itu hanya langkah awal. Bukti bahwa pimpinan benar-benar orang yang
tepat baru bisa dinilai dan diketahui ketika mereka sudah selesai bekerja.
Artinya, kemampuan mereka untuk merealisasi visi dan misi KPK menjadi ukuran
kualitas mereka yang sesungguhnya. Inilah yang diharapkan dan ditunggu-tunggu
publik.
Pertimbangan
Untuk
mewujudkan harapan ini memang tidak mudah. Dengan berkaca pada problem besar
lingkaran setan sistem koruptif di atas, minimal, ada dua hal yang perlu
ditumbuh-kembangkan adalah;
Pertama,
sebagaimana demokrasi yang tidak bisa hidup tanpa partisipasi politik publik,
maka penegakan hukum dan pemberantasan korupsi juga tidak bisa terjadi tanpa
pengawasan dan tekanan publik. Itu berarti kita tidak bisa sepenuhnya hanya
berharap pada kesadaran pribadi para pemimpin KPK apalagi ketua KPK seorang
diri. Peran pengawasan ini tentu saja diharapkan muncul dari media, pers,
lembaga swadaya masyarakat, akademisi, intelektual, atau masyarakat pada
umumnya, sehingga personel KPK selalu diingatkan dan responsif terhadap
tuntutan berbagai kalangan agar usaha pemberantasan korupsi itu benar-benar
dijalankan dan membawa hasil.
Kedua,
partai politik sebagai gerbong penyalur pejabat publik seharusnya memiliki
political will untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi dari KPK, apalagi
mengingat aktor korupsi yang dominan adalah para politisi, baik yang menjabat
pada lembaga eksekutif maupun pada lembaga legislative dan yudikatif.
Ketiga,
hukuman bagi para koruptor seharusnya dimaksimalkan. Pengadilan menjadi lembaga
yang menakutkan bagi mereka yang hobby melakukan korupsi. Sehingga implikasi
efek jera bagi siapapun untuk melakukan korupsi bisa menjadi pencegah
alternatif selain pendidikan anti korupsi.
Jika
kemudian, hal di atas pula hanya dijadikan azhimat politik dalam rangka meraup
popularitas, maka jangan harap bangsa dan negara ini bisa keluar dari kubangan
korupsi yang penuh dengan kehinaan dan kemurtadan.
Tidak ada
kata tidak untuk mengatakan dan merealisasikan bahwa kezaliman dalam penegakan
hukum harus segera dibumihanguskan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri
tercinta ini.
0 komentar:
Posting Komentar